Perjumpaan yang Mengubah Segalanya
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus,
Hari ini kita diajak merenungkan dua hal yang sangat mendalam: pertobatan dan persekutuan. Dalam bacaan pertama, kita mendengar kisah yang amat terkenal dalam sejarah Gereja—pertobatan Saulus di jalan menuju Damsyik. Dan dalam Injil, kita disuguhkan misteri terdalam iman kita: Yesus memberi Diri-Nya sebagai roti hidup—Tubuh dan Darah-Nya sendiri—agar kita tinggal dalam Dia dan Dia tinggal dalam kita.
Mari kita mulai dengan tokoh yang mungkin terasa "jauh" dari kita: Saulus. Ia seorang yang fanatik, keras kepala, dan kejam terhadap umat Kristen. Namun ironisnya, ia melakukan semuanya itu karena merasa sedang membela Allah. Saulus meyakini bahwa para pengikut Yesus itu sesat. Ia ingin “membersihkan” agama Yahudi dari ajaran-ajaran yang dianggap menyimpang. Ia tidak merasa berdosa. Ia merasa benar.
Tapi di situlah letak bahaya terbesar dalam hidup rohani: merasa benar sendiri. Kita bisa sangat aktif di Gereja, sangat tekun berdoa, sangat vokal menyuarakan kebenaran—tetapi kalau hati kita keras, kita justru bisa menjadi penghalang kasih Allah. Seperti Saulus, kita bisa menjadi alat kekerasan, bukan alat kasih.
Namun Allah kita adalah Allah yang tak kenal lelah. Allah kita adalah Allah yang tidak menyerah terhadap siapa pun. Bahkan terhadap orang yang sedang menganiaya umat-Nya. Di tengah jalan, dalam semangat kemarahan dan kebencian, Saulus disergap oleh cahaya dari surga. Ia jatuh. Ia mendengar suara yang lembut tapi tegas: “Saulus, Saulus, mengapa engkau menganiaya Aku?”
Bayangkan perasaan Saulus saat itu. Ia tidak mendengar, “Mengapa kau menyakiti umat-Ku?” tetapi: “Mengapa kau menganiaya Aku?” Yesus tidak memisahkan diri-Nya dari umat-Nya. Ketika kita disakiti, ditolak, atau diperlakukan tidak adil, Yesus pun merasakan itu. Begitu dalamnya Ia bersatu dengan kita.
Perjumpaan itulah yang mengubah segalanya. Saulus yang tadinya merasa benar, kini menjadi buta. Ia harus dipapah masuk kota. Ia menjadi lemah, kecil, dan tidak berdaya. Kadang, Tuhan memang membiarkan kita mengalami kelemahan agar kita berhenti mengandalkan diri sendiri—dan mulai bersandar sepenuhnya pada Dia.
Tiga hari kemudian, Tuhan mengutus Ananias. Perhatikan baik-baik: Ananias tahu siapa Saulus. Ia takut. Tapi Tuhan berkata, “Pergilah, sebab orang ini adalah alat pilihan bagi-Ku.” Saudara-saudari, betapa agungnya rahmat Tuhan. Orang yang paling kita takuti, paling kita hindari, paling kita anggap tak layak—bisa jadi adalah alat pilihan Tuhan.
Maka ketika Ananias menjumpai Saulus, ia tidak berkata, “Aku datang karena terpaksa.” Tidak. Ia berkata dengan kasih, “Saulus, saudaraku.” Kata itu menyembuhkan. Saulus pun menerima penglihatan kembali, dibaptis, dan menjadi Paulus—rasul yang kelak mengubah wajah Gereja.
Dari kisah ini, mari kita renungkan dua hal:
Adakah "Saulus" dalam hidup kita—orang yang kita anggap tidak bisa berubah?
Jangan pernah mengunci seseorang dalam masa lalunya. Tuhan tidak melihat kita seperti dunia melihat. Tuhan melihat potensi, bukan hanya catatan dosa.
Adakah bagian dari hati kita sendiri yang masih keras seperti Saulus?
Mungkin kita memusuhi seseorang, mungkin kita menyimpan dendam, atau merasa lebih suci daripada yang lain. Biarlah cahaya Tuhan menjamah bagian itu.
Lalu, dalam Injil, Yesus memberi kita jawaban atas kebutuhan terdalam manusia: persekutuan dengan Allah. Ia berkata, “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia.”
Inilah keindahan iman Katolik: Tuhan tidak hanya memberi kita pengajaran, Ia memberi diri-Nya sendiri. Dalam Ekaristi, kita menerima Tuhan secara nyata. Bukan simbol. Bukan peringatan semata. Tapi sungguh-sungguh: Tubuh dan Darah-Nya. Dan siapa yang menyambut-Nya dengan hati terbuka, akan bersatu dengan Kristus, seperti ranting dengan pokok anggur.
Saudara-saudari terkasih,
Seperti Saulus, kita semua bisa berubah. Kita semua bisa dijamah Tuhan, diubah Tuhan, dipakai Tuhan. Dan dalam Ekaristi, perubahan itu dimungkinkan setiap hari. Tapi kita harus datang dengan hati yang lapar. Lapar akan kasih. Lapar akan pengampunan. Lapar akan hidup baru.
Jangan datang ke misa hanya karena kewajiban. Datanglah karena kita ingin berjumpa. Karena kita ingin disembuhkan. Karena kita tahu: tanpa Tuhan, kita buta. Tapi dengan Tuhan, kita melihat.
Mari kita biarkan kisah Saulus menjadi kisah kita. Mari kita biarkan Ekaristi menjadi cahaya dalam perjalanan kita. Dan mari kita percaya: Tuhan belum selesai dengan hidup kita. Ia masih bekerja. Ia masih mengasihi. Ia masih menanti.
Posting Komentar