Roti Hidup, Iman yang Diperjuangkan dan Dibagikan
Pendahuluan: Dua Pertanyaan Kunci
Hari ini Injil menantang kita dengan dua pertanyaan besar:
1. Bagaimana kita menghadapi kelaparan di sekitar kita—kelaparan fisik, spiritual, dan sosial?
2. Dan apa yang kita berikan, bahkan saat rasanya terlalu kecil untuk berarti?
Kisah penggandaan roti hari ini bukan hanya mukjizat makanan, tetapi juga kisah tentang iman yang dihidupi, tentang hati yang berani memberi, dan tentang Yesus sebagai Roti Hidup yang sesungguhnya. Lebih dari itu, hari ini kita merayakan sosok besar: Santo Athanasius, seorang pahlawan iman yang hidupnya juga menjadi “roti” yang dipecah demi Gereja.
Mari kita renungkan tiga bagian:
1. Realitas kelaparan dan logika manusia
2. Keberanian memberi: kisah si anak kecil dan Athanasius
3. Ekaristi: Roti Hidup yang mengubah dunia
“Di mana kita bisa membeli roti untuk mereka?”
Filipus menjawab secara logis:
“Dua ratus dinar pun tidak cukup.”
Sebagai gambaran, 200 dinar kira-kira setara dengan Rp20 juta hari ini. Jika satu roti harganya Rp10.000, kita hanya bisa beli 2.000 roti. Padahal yang hadir lebih dari 5.000 orang.
Filipus tidak salah. Ia realistis. Tapi ia hanya melihat dari logika manusia. Ia lupa siapa yang sedang bersamanya: Yesus, yang tidak hanya memberkati makanan, tapi mengubah keterbatasan menjadi kelimpahan.
Betapa seringnya kita juga bersikap seperti Filipus—bertemu masalah, lalu berkata:
- “Saya tidak sanggup.”
- “Gaji saya kecil, apa yang bisa saya bantu?”
- “Saya bukan siapa-siapa, apa artinya saya?”
Mentalitas kekurangan seperti ini membuat kita takut berbagi, takut melangkah, takut mempercayakan hidup kepada Tuhan.
1. Bagaimana kita menghadapi kelaparan di sekitar kita—kelaparan fisik, spiritual, dan sosial?
2. Dan apa yang kita berikan, bahkan saat rasanya terlalu kecil untuk berarti?
Kisah penggandaan roti hari ini bukan hanya mukjizat makanan, tetapi juga kisah tentang iman yang dihidupi, tentang hati yang berani memberi, dan tentang Yesus sebagai Roti Hidup yang sesungguhnya. Lebih dari itu, hari ini kita merayakan sosok besar: Santo Athanasius, seorang pahlawan iman yang hidupnya juga menjadi “roti” yang dipecah demi Gereja.
Mari kita renungkan tiga bagian:
1. Realitas kelaparan dan logika manusia
2. Keberanian memberi: kisah si anak kecil dan Athanasius
3. Ekaristi: Roti Hidup yang mengubah dunia
I. Realitas Kelaparan dan Logika Manusia
Ketika Yesus melihat orang banyak yang lapar, Dia bertanya kepada Filipus:“Di mana kita bisa membeli roti untuk mereka?”
Filipus menjawab secara logis:
“Dua ratus dinar pun tidak cukup.”
Sebagai gambaran, 200 dinar kira-kira setara dengan Rp20 juta hari ini. Jika satu roti harganya Rp10.000, kita hanya bisa beli 2.000 roti. Padahal yang hadir lebih dari 5.000 orang.
Filipus tidak salah. Ia realistis. Tapi ia hanya melihat dari logika manusia. Ia lupa siapa yang sedang bersamanya: Yesus, yang tidak hanya memberkati makanan, tapi mengubah keterbatasan menjadi kelimpahan.
Betapa seringnya kita juga bersikap seperti Filipus—bertemu masalah, lalu berkata:
- “Saya tidak sanggup.”
- “Gaji saya kecil, apa yang bisa saya bantu?”
- “Saya bukan siapa-siapa, apa artinya saya?”
Mentalitas kekurangan seperti ini membuat kita takut berbagi, takut melangkah, takut mempercayakan hidup kepada Tuhan.
II. Keberanian Memberi: Si Anak Kecil dan Santo Athanasius
Lalu datanglah Andreas, membawa seorang anak kecil yang membawa lima roti dan dua ikan. Jumlah yang sangat kecil—tapi diberikan sepenuhnya.
Bayangkan: anak itu bisa saja menyimpan bekalnya. Tapi ia memilih percaya bahwa Yesus bisa melakukan sesuatu dari pemberiannya yang kecil.
Itulah awal dari mukjizat: bukan karena jumlahnya cukup, tapi karena iman dan hati yang mau memberi.
Sikap anak ini sangat mirip dengan hidup Santo Athanasius. Ia bukan orang besar menurut dunia. Saat masih muda, ia sudah menghadapi tekanan besar: ajaran sesat Arianisme menyebar luas. Banyak yang menyangkal bahwa Yesus adalah Allah sejati. Bahkan para uskup dan kaisar berpihak pada ajaran salah itu.
Namun Athanasius berdiri teguh. Ia berkata:
“Yesus adalah Allah sungguh-sungguh. Tanpa itu, iman kita sia-sia!”
Ia tidak mundur, meskipun:
- Lima kali diasingkan.
- Bertahun-tahun hidup dalam pengasingan dan penganiayaan.
- Hampir sendirian membela iman sejati.
Apa yang Athanasius berikan? Seluruh hidupnya. Ia tidak punya kekuatan politik, tidak punya uang, tapi ia punya kebenaran dan keberanian untuk memberi segalanya.
Anak kecil dalam Injil dan Athanasius dalam sejarah—keduanya mengajarkan bahwa mukjizat besar dimulai dari pemberian kecil yang tulus.
Perhatikan, lima roti dari anak kecil—di tangan Yesus—cukup memberi makan ribuan orang. Inilah kekuatan kasih yang dibagikan.
Itulah makna Ekaristi yang kita rayakan hari ini:
- Kita datang membawa hidup kita yang sederhana.
- Kita mempersembahkan sedikit waktu, tenaga, atau doa.
- Dan Tuhan mengubahnya menjadi berkat yang jauh lebih besar.
Ekaristi bukan hanya santapan pribadi. Itu adalah panggilan untuk ikut memberi diri, agar dunia yang lapar bisa merasakan kasih Tuhan.
Dan lihatlah dunia kita hari ini:
- Banyak orang lapar secara jasmani—di jalanan, di pedalaman.
- Banyak pula yang lapar akan kasih, pengampunan, dan pengharapan.
Kita tidak diminta memberi Rp20 juta atau memiliki jawaban besar. Kita hanya diminta, seperti anak itu dan seperti Athanasius, untuk memberi apa yang kita punya—dengan iman.
➡️ Untuk percaya bahwa di tangan Tuhan, sedikit yang kita berikan bisa menjadi berkat besar.
➡️ Untuk berani membela iman kita, seperti Athanasius, meski dunia tidak mendukung.
➡️ Untuk menjadi seperti roti yang dipecah dan dibagikan—bagi keluarga, Gereja, dan masyarakat.
Marilah kita bertanya dalam hati:
- Apa "lima roti dan dua ikan" yang bisa saya bagikan hari ini?
- Apakah saya berani seperti anak kecil itu, dan seperti Santo Athanasius, memberi diri saya untuk karya Tuhan?
Semoga Ekaristi yang kita rayakan mengubah kita: menjadi orang yang percaya, memberi, dan membela iman dengan kasih.
Amin.
Bayangkan: anak itu bisa saja menyimpan bekalnya. Tapi ia memilih percaya bahwa Yesus bisa melakukan sesuatu dari pemberiannya yang kecil.
Itulah awal dari mukjizat: bukan karena jumlahnya cukup, tapi karena iman dan hati yang mau memberi.
Sikap anak ini sangat mirip dengan hidup Santo Athanasius. Ia bukan orang besar menurut dunia. Saat masih muda, ia sudah menghadapi tekanan besar: ajaran sesat Arianisme menyebar luas. Banyak yang menyangkal bahwa Yesus adalah Allah sejati. Bahkan para uskup dan kaisar berpihak pada ajaran salah itu.
Namun Athanasius berdiri teguh. Ia berkata:
“Yesus adalah Allah sungguh-sungguh. Tanpa itu, iman kita sia-sia!”
Ia tidak mundur, meskipun:
- Lima kali diasingkan.
- Bertahun-tahun hidup dalam pengasingan dan penganiayaan.
- Hampir sendirian membela iman sejati.
Apa yang Athanasius berikan? Seluruh hidupnya. Ia tidak punya kekuatan politik, tidak punya uang, tapi ia punya kebenaran dan keberanian untuk memberi segalanya.
Anak kecil dalam Injil dan Athanasius dalam sejarah—keduanya mengajarkan bahwa mukjizat besar dimulai dari pemberian kecil yang tulus.
Baca Juga: loading
III. Ekaristi: Roti Hidup yang Mengubah Dunia
Yesus mengambil roti itu, mengucap syukur, membagikannya, dan semua orang makan sampai kenyang. Bahkan masih sisa dua belas bakul.Perhatikan, lima roti dari anak kecil—di tangan Yesus—cukup memberi makan ribuan orang. Inilah kekuatan kasih yang dibagikan.
Itulah makna Ekaristi yang kita rayakan hari ini:
- Kita datang membawa hidup kita yang sederhana.
- Kita mempersembahkan sedikit waktu, tenaga, atau doa.
- Dan Tuhan mengubahnya menjadi berkat yang jauh lebih besar.
Ekaristi bukan hanya santapan pribadi. Itu adalah panggilan untuk ikut memberi diri, agar dunia yang lapar bisa merasakan kasih Tuhan.
Dan lihatlah dunia kita hari ini:
- Banyak orang lapar secara jasmani—di jalanan, di pedalaman.
- Banyak pula yang lapar akan kasih, pengampunan, dan pengharapan.
Kita tidak diminta memberi Rp20 juta atau memiliki jawaban besar. Kita hanya diminta, seperti anak itu dan seperti Athanasius, untuk memberi apa yang kita punya—dengan iman.
Penutup: Menjadi Roti Bagi Dunia
Dalam dunia yang sering dikuasai oleh logika untung-rugi, oleh rasa takut kekurangan, Injil hari ini dan hidup Santo Athanasius mengajak kita:➡️ Untuk percaya bahwa di tangan Tuhan, sedikit yang kita berikan bisa menjadi berkat besar.
➡️ Untuk berani membela iman kita, seperti Athanasius, meski dunia tidak mendukung.
➡️ Untuk menjadi seperti roti yang dipecah dan dibagikan—bagi keluarga, Gereja, dan masyarakat.
Marilah kita bertanya dalam hati:
- Apa "lima roti dan dua ikan" yang bisa saya bagikan hari ini?
- Apakah saya berani seperti anak kecil itu, dan seperti Santo Athanasius, memberi diri saya untuk karya Tuhan?
Semoga Ekaristi yang kita rayakan mengubah kita: menjadi orang yang percaya, memberi, dan membela iman dengan kasih.
Amin.
Posting Komentar