Allah, Tembok Perlindungan Kita

Table of Contents


Baik di masa damai maupun di masa perang, salah satu kebutuhan mendasar manusia adalah perlindungan. Dari negara yang membangun benteng pertahanan, kota yang mengelilingi dirinya dengan tembok, hingga pribadi yang mendambakan rasa aman dalam hidupnya—semua itu muncul dari satu kerinduan mendalam: “Apakah aku aman? Siapa yang melindungiku?”

Di zaman kuno, tembok kota menjadi simbol keamanan. Tanpa tembok, sebuah kota dianggap rapuh dan mudah diserang. Namun dalam bacaan pertama hari ini, kita mendengar sesuatu yang mengejutkan. Tuhan berfirman: “Yerusalem akan tetap tinggal seperti padang terbuka… Aku sendiri akan menjadi tembok berapi di sekelilingnya, dan Aku akan menjadi kemuliaan di dalamnya.” (Za 2:8-9).

Apa artinya? Yerusalem tidak membutuhkan tembok batu untuk bertahan hidup. Perlindungan sejatinya tidak datang dari bangunan buatan manusia, melainkan dari Allah sendiri yang menjadi bentengnya. Tuhan berkata: “Aku sendiri akan menjadi tembok berapi di sekelilingnya.” Betapa indahnya janji ini!

Saudara-saudari, janji ini juga berlaku bagi kita. Seringkali kita membangun “tembok-tembok” dalam hidup: tembok ketakutan, tembok kecurigaan, tembok kekhawatiran akan masa depan. Kita mencari rasa aman dalam harta, jabatan, atau relasi. Tetapi semua itu, meski berguna, tidak pernah memberi damai sejati. Satu-satunya yang sungguh dapat melindungi kita hanyalah Allah sendiri.

Saya teringat sebuah kisah nyata. Saat gempa besar melanda Yogyakarta tahun 2006, banyak orang berlarian ke jalan mencari tempat aman. Ada seorang ibu yang saya kenal, rumahnya roboh total. Ketika ditanya, “Bagaimana perasaan ibu?” Ia menjawab dengan tenang, “Rumah saya hancur, tapi Tuhan masih melindungi saya dan keluarga. Kalau bukan karena Tuhan, mungkin kami sudah tertimpa reruntuhan.”

Di tengah ketakutan besar, ibu itu menemukan bahwa perlindungan sejati tidak berasal dari tembok rumah, melainkan dari Tuhan yang menjaga hidupnya.

Hari ini kita juga merayakan Santo Vincentius a Paulo, yang hidup di Prancis pada abad ke-17—masa penuh perang, kemiskinan, dan wabah penyakit. Banyak orang mencari keamanan pada benteng, pasukan, atau kekayaan. Namun Vincentius menaruh kepercayaannya hanya pada Tuhan, dan justru itulah yang membuatnya berani tanpa takut untuk melayani orang miskin, orang sakit, dan mereka yang tersisih. Ia pernah berkata: “Orang miskin adalah tuan dan nyonya kita; melayani mereka berarti melayani Kristus sendiri.”

Bagi Vincentius, Allah bukan hanya benteng yang melindunginya, tetapi juga kemuliaan yang bercahaya di dalam dirinya—nyata dalam cinta kasih dan kerendahan hati.

Santo Agustinus pernah berkata: “Hati manusia tidak akan pernah tenang sebelum beristirahat dalam Engkau, ya Allah.” Itulah kebenaran yang dihidupi Santo Vincentius. Ia tidak bersandar pada harta atau tembok, melainkan pada perlindungan dan penyelenggaraan Allah. Karena itu hidupnya terus menjadi inspirasi bagi Gereja sampai hari ini.

Maka, marilah kita membuka hati kita. Biarkan Tuhan meruntuhkan tembok-tembok ketakutan dalam diri kita, dan menggantikannya dengan tembok kasih dan kemuliaan-Nya. Biarkan Dia menjadi benteng yang melindungi kita—bukan hanya dari bahaya luar, tetapi juga dari kelemahan hati kita sendiri.

Semoga dengan percaya kepada Allah sebagai perlindungan sejati, kita pun dapat hidup dengan aman, dan seperti Santo Vincentius a Paulo, menjadi tanda kemuliaan Allah di dunia—membawa kehidupan, berkat, dan pengharapan bagi sesama.

Amin.

Posting Komentar