Hidup di dalam Kristus, Mati pun di dalam Kristus
(Bacaan: 1 Tesalonika 4:14-18; Yohanes 11:17-27)
Setiap kali kita berhadapan dengan kematian, hati kita tersentuh begitu dalam. Ada kesedihan yang tak bisa diungkap dengan kata-kata, ada rindu yang tidak bisa dihapus oleh waktu. Kepergian orang yang kita kasihi selalu meninggalkan ruang kosong — ruang yang dahulu dipenuhi oleh senyum, suara, dan kehadirannya.
Namun, di tengah air mata dan kehilangan ini, kita datang kepada Tuhan bukan hanya untuk berduka, tetapi juga untuk menimba kekuatan dari iman kita. Kita datang untuk mendengarkan Sabda Allah yang meneguhkan, bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya, tetapi pintu menuju hidup yang kekal.
Iman yang Menumbuhkan Pengharapan (1 Tes 4:14-18)
Santo Paulus menulis kepada jemaat di Tesalonika yang sedang berduka karena kehilangan saudara-saudari seiman mereka. Mereka khawatir bahwa orang-orang yang meninggal sebelum kedatangan Kristus akan kehilangan bagian dalam kebangkitan.
Paulus meneguhkan mereka dengan kata-kata ini:
“Kalau kita percaya bahwa Yesus telah wafat dan bangkit, maka kita juga percaya bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan bersama-Nya.”
Dengan kata lain, kematian tidak memisahkan kita dari kasih Kristus. Orang-orang yang telah mendahului kita tidak hilang; mereka hanya berpulang lebih dahulu ke rumah Bapa.
Santo Agustinus pernah berkata dengan sangat indah:
“Janganlah menangis bila engkau mengasihi aku; karena aku tidak jauh darimu, aku hanya berada di sisi lain dari jalan.”
Kata-kata ini mengingatkan kita bahwa cinta tidak pernah berhenti pada kematian. Dalam Kristus, kita tetap terhubung dengan mereka yang kita cintai, karena kasih Allah melampaui batas waktu dan ruang.
Yesus yang Menangis Bersama Kita (Yoh 11:17-27)
Dalam Injil, Yesus datang ke Betania, tempat sahabat-Nya Lazarus telah meninggal. Marta menyambut-Nya dengan hati yang terluka dan berkata:
“Tuhan, sekiranya Engkau ada disini, saudaraku pasti tidak mati.”
Kalimat ini sangat manusiawi — ungkapan hati yang penuh duka dan kerinduan. Mungkin kata-kata yang sama juga pernah terucap di hati kita: “Tuhan, mengapa Engkau biarkan ini terjadi? Mengapa Engkau mengambil orang yang kami kasihi?”
Namun Yesus tidak menegur Marta. Ia tidak menyalahkan air matanya. Sebaliknya, Ia menjawab dengan penuh kasih:
“Akulah kebangkitan dan hidup. Barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati.”
Kata-kata ini bukan sekadar penghiburan, melainkan janji ilahi. Yesus menunjukkan bahwa Allah tidak jauh dari penderitaan manusia. Ia menangis bersama kita, Ia hadir dalam setiap air mata, dan Ia sendiri yang akan menuntun kita dari duka menuju pengharapan.
Santo Yohanes Krisostomus pernah berkata:
“Kita tidak berduka karena orang mati tidak hidup lagi, tetapi karena kita tidak bisa melihat mereka. Namun mereka hidup, lebih sungguh daripada kita, karena mereka telah bersatu dengan Kristus.”
Inilah kebenaran yang indah: mereka yang meninggal dalam Kristus hidup lebih sungguh daripada kita, karena kini mereka telah beristirahat dalam pelukan kasih Allah.
Dari Duka Menuju Iman yang Menguatkan
Pada akhirnya, Marta mengucapkan pengakuan iman yang luar biasa:
“Ya Tuhan, aku percaya, Engkau Mesias, Anak Allah, yang datang ke dalam dunia.”
Iman seperti inilah yang menjadi kekuatan bagi setiap orang beriman — iman yang tetap percaya, meski hati sedang hancur.
Kita boleh menangis, tetapi air mata kasih bukanlah tanda kelemahan. Itu tanda bahwa cinta yang kita miliki sungguh mendalam.
Santo Ambrosius dari Milan menulis:
“Kematian bukanlah akhir, tetapi awal dari perjalanan menuju kehidupan yang kekal.”
Bagi orang beriman, kematian bukan penutupan, melainkan pembukaan — pintu menuju kehidupan yang lebih indah di hadapan Allah.
Hidup yang Dipersiapkan dalam Kasih
Saudara-saudari terkasih,
Kita tidak tahu kapan Tuhan akan memanggil kita, tetapi kita tahu kepada siapa kita akan pergi. Karena itu, hidup ini adalah kesempatan untuk mempersiapkan diri dengan kasih.
Santo Fransiskus dari Asisi dalam Kidung Saudara Matahari memanggil maut dengan lembut:
“Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena saudari kami, Maut jasmani.”
Ia bisa menyapa maut dengan damai, karena seluruh hidupnya diisi dengan cinta dan iman kepada Tuhan. Bila hidup kita pun dijalani dalam kasih, maka ketika saatnya tiba, kita dapat menyambut maut bukan dengan takut, tetapi dengan damai, karena kita tahu: kita akan pulang kepada Allah.
Penutup
Hari ini kita mempersembahkan Misa ini bagi saudara-saudari kita yang telah berpulang. Kita menyerahkan mereka ke dalam tangan Allah yang penuh belas kasih. Kita percaya, sebagaimana dikatakan Santo Yohanes Paulus II:
“Kematian bukanlah akhir manusia, melainkan kelahiran kembali ke dalam hidup yang baru. Dalam Kristus, kita menemukan arti dari setiap kehilangan.”
Semoga kita yang masih berziarah di dunia ini pun hidup dengan iman yang sama. Kita boleh berduka, tetapi duka kita berakar dalam pengharapan. Kita boleh menangis, tetapi air mata kita mengandung iman yang berkata:
“Tuhan, Engkau kebangkitan dan hidup. Engkaulah pengharapan kami, dan dalam kasih-Mu, kami percaya bahwa suatu hari kelak, kami akan bertemu kembali dengan mereka yang kami kasihi, dalam sukacita kekal bersama-Mu.”
Renungan untuk Misa Requiem Bpk Gason Peter di RD Husada 23/10/25

Posting Komentar