Kebahagiaan Sejati: Mendengarkan dan Memelihara Sabda Allah

Table of Contents


Renungan Sabtu, 11 Oktober 2025


Injil: Lukas 11:27–28


“Yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan firman Allah dan yang memeliharanya.” (Luk 11:28)

Injil hari ini menampilkan sebuah momen yang tampaknya sederhana, tetapi sesungguhnya mengandung pesan yang sangat dalam tentang kebahagiaan sejati dalam hidup beriman. Seorang perempuan di tengah orang banyak berseru kepada Yesus, memuji Bunda Maria dengan berkata: “Berbahagialah ibu yang telah mengandung Engkau dan susu yang telah menyusui Engkau!” Namun Yesus menjawab dengan lembut tetapi tegas: “Yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan firman Allah dan yang memeliharanya.”

Jawaban ini bukanlah penolakan terhadap Bunda Maria, melainkan justru pujian yang lebih tinggi kepada dirinya. Yesus mengarahkan perhatian dari kebanggaan lahiriah menuju dimensi rohani dan batiniah dari kebahagiaan. Ia mengajarkan bahwa berkat sejati tidak terletak pada status, kedudukan, atau hubungan darah, melainkan pada keterbukaan hati terhadap Sabda Allah.

Kebahagiaan sejati bukan soal kedekatan lahiriah, melainkan kedalaman batin

Yesus tidak menolak penghormatan kepada Maria. Sebaliknya, Ia menegaskan bahwa kebahagiaan Maria berasal dari imannya — dari ketaatannya mendengarkan dan memelihara firman Allah. Sejak peristiwa Kabar Sukacita, Maria berkata:

“Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataan-Mu.” (Luk 1:38)

Kata “jadilah” itu adalah ungkapan penyerahan total kepada kehendak Allah. Dari situlah Maria menjadi “yang berbahagia,” sebab ia membuka seluruh dirinya bagi karya Allah. Ia tidak hanya mendengarkan firman dengan telinga, tetapi membiarkannya mengubah hidup.

Kita sering berpikir bahwa kebahagiaan datang ketika kita memiliki banyak hal: harta, jabatan, kehormatan, atau pengakuan. Namun Yesus mengajak kita melihat bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari apa yang kita miliki, melainkan dari siapa yang kita dengarkan dan taati. Mendengarkan Allah dan memelihara sabda-Nya menghadirkan damai dan sukacita yang tidak tergoyahkan, bahkan di tengah kesulitan.


Mendengarkan firman Allah berarti membuka hati, bukan hanya telinga

Dalam budaya modern, kita dikelilingi oleh begitu banyak suara: berita, hiburan, media sosial, opini, dan tuntutan dunia. Di tengah hiruk-pikuk ini, suara Tuhan sering kali tenggelam. Mendengarkan Sabda Allah bukan sekadar membaca Kitab Suci atau mendengar homili di gereja, tetapi menyediakan ruang dalam hati agar Sabda itu berbicara, menyentuh, dan menuntun kita.

Hati yang mendengarkan adalah hati yang mau dibentuk. Firman Allah sering kali menegur, mengoreksi, atau menantang cara hidup kita. Namun justru di situlah Sabda itu bekerja: mengubah kerasnya hati menjadi tanah yang subur di mana kasih, kesabaran, dan iman dapat bertumbuh.

Yesus sendiri berkata dalam Injil Yohanes:

“Sabda yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup.” (Yoh 6:63)

Firman Allah bukan sekadar ajaran, melainkan kehidupan itu sendiri. Ketika kita memberi ruang bagi-Nya, hidup kita ikut diubah oleh kuasa-Nya.


Memelihara firman Allah berarti menghidupi iman dalam tindakan

Mendengarkan belum cukup; Yesus menambahkan: “...dan yang memeliharanya.” Memelihara berarti menjaga agar firman itu tetap hidup dan berbuah dalam tindakan nyata. Iman yang sejati selalu berbuah dalam kasih. Firman Allah yang kita dengar dalam doa atau Misa harus tercermin dalam sikap kita terhadap sesama: dalam kesabaran, pengampunan, dan kepedulian.

Maria adalah contoh yang sempurna. Ia memelihara Sabda dalam hatinya — Lukas menulis: “Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya.” (Luk 2:19). Dalam diam dan kesetiaan, ia memelihara iman bahkan ketika tidak mengerti sepenuhnya jalan Allah, termasuk di bawah salib.

Kita pun dipanggil untuk memelihara firman di tengah realitas hidup: dalam keluarga, pekerjaan, pelayanan, dan pergumulan pribadi. Ketika kita menolak untuk membalas kejahatan dengan kejahatan, ketika kita memilih untuk mengampuni, ketika kita bertekun dalam doa meski hati lelah — di situlah firman Allah sedang dipelihara dan berbuah.


Buah dari mendengarkan dan memelihara sabda: kebahagiaan sejati

Yesus menggunakan kata berbahagia — dalam bahasa Yunani makarios, yang berarti “diberkati, berbahagia secara mendalam.” Ini bukan sekadar perasaan senang, melainkan keadaan jiwa yang bersatu dengan kehendak Allah. Kebahagiaan ini tidak tergantung pada keadaan luar, tetapi pada relasi batin yang hidup dengan Tuhan.

Ketika Sabda Allah berakar dalam diri kita, kita menemukan ketenangan meski dunia bergoncang. Kita mampu melihat kehidupan dengan harapan baru, sebab kita tahu Tuhan menyertai. Maka benarlah apa yang dikatakan Yesus: yang berbahagia bukan mereka yang memiliki segalanya, melainkan mereka yang mengizinkan Sabda Allah memiliki mereka.


Penutup: Menjadi murid yang mendengarkan

Hari ini kita diundang untuk meneladan Maria dan para murid sejati Yesus — menjadi pendengar dan pelaku Sabda. Dunia butuh orang-orang yang tidak hanya tahu firman, tetapi yang hidup darinya. Gereja menjadi kuat bukan karena banyaknya aktivitas, tetapi karena kesetiaan umatnya mendengarkan dan memelihara Sabda Allah.

Semoga setiap kali kita mendengar Injil, kita tidak hanya mengatakan, “Indah sekali sabda Tuhan,” tetapi juga berani berkata, “Tuhan, ubahlah aku dengan sabda-Mu.”


Doa:

Tuhan Yesus, ajarilah kami untuk mendengarkan sabda-Mu dengan hati yang terbuka, dan memeliharanya dengan kesetiaan dalam hidup sehari-hari. Jadikan kami seperti Bunda Maria, yang menemukan kebahagiaan sejati dalam ketaatan kepada kehendak-Mu. Amin.

Posting Komentar