Melampaui Kepicikan Hati
Rm 11:29-36 Mzm 69:30-31.33-34.36-37; Luk 14:12-14
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menjumpai orang yang kita sebut picik — orang yang terlalu banyak memikirkan hal-hal kecil yang tidak penting, yang bersikap dingin dan penuh perhitungan. Kita biasanya merasa tidak nyaman berdekatan dengan mereka, karena setiap kata atau tindakan bisa saja dikritik. Bahkan hal kecil yang bagi kita sepele, bagi mereka bisa menjadi masalah besar.
Namun, kalau kita jujur, bukankah kadang kita juga bisa bersikap demikian? Mungkin tidak sejelas atau sekeras itu, tetapi dalam hati kecil kita ada kecenderungan untuk menghitung-hitung — apalagi dalam hal berbuat baik. Kita merasa sudah berkorban, sudah membantu, dan diam-diam menantikan balasan, atau setidaknya ucapan terima kasih.
Yesus dalam Injil hari ini berbicara tentang undangan — tentang mengundang orang-orang yang tidak bisa membalas budi kita. Ia berkata, “Apabila engkau mengadakan perjamuan, undanglah orang miskin, orang cacat, orang lumpuh, dan orang buta; maka engkau akan berbahagia, karena mereka tidak dapat membalas kepadamu.” (Luk 14:13-14)
Pesan Yesus sangat jelas: kasih yang sejati tidak mengenal perhitungan. Kebaikan yang sejati tidak menunggu balasan. Tetapi justru di sinilah tantangan bagi kita. Karena dalam diri manusia selalu ada kecenderungan untuk menghitung: “Saya sudah melakukan ini untuk dia; kapan dia membalasnya?” Bahkan kadang dalam pelayanan gereja pun, pikiran seperti itu bisa muncul.
Yesus mengajak kita untuk melampaui kepicikan hati itu. Ia ingin agar kita memberi bukan karena ingin dihargai, melainkan karena kita telah lebih dulu menerima kasih yang begitu besar dari Allah. Kalau kita mau merenung sejenak, betapa banyak kebaikan yang telah Tuhan berikan kepada kita — hidup, keluarga, kesempatan, pengampunan, bahkan keselamatan. Semuanya itu diberikan secara cuma-cuma, tanpa perhitungan.
Marilah kita menatap Salib Kristus. Di sana kita melihat kasih yang tidak picik, kasih yang tidak menuntut balasan. Yesus memberikan segalanya — bahkan nyawa-Nya — bagi kita yang sering kali tidak tahu berterima kasih. Kasih di atas kayu salib adalah kasih yang total, kasih yang memberi tanpa batas.
Maka, ketika kita memberi, membantu, dan berbagi, marilah kita belajar melakukannya dengan hati yang bebas. Jangan hitung-hitungan, jangan perhitungan. Biarlah kasih menjadi alasan kita. Sebab, seperti kata Santo Fransiskus dari Asisi: “Dengan memberi, kita menerima; dengan mengasihi, kita menemukan hidup.”
Semoga Ekaristi yang kita rayakan hari ini meneguhkan hati kita untuk memberi dan berbagi dengan tulus, sebagaimana Kristus telah lebih dahulu memberikan diri-Nya bagi kita.
Posting Komentar